Kritik
terhadap Revolusi Hijau
Keberhasilan
revolusi hijau dalam menghasilkan pangan bagi dunia ternyata disisi lain
menghasilkan akibat samping yang sangat besar dan kompleks. Revolusi hijau
membawa dampak lingkungan dan sosial secara luas. Kritik terhadap revolusi
hijau adalah terlalu tergantung pada input yang tinggi, khususnya pupuk kimia
dan bahan kimia pertanian (pestisida, insektisida, herbisida kimia). Inovasi
bibit unggul banyak menghilangkan plasma nuftah lokal. Dari beberapa sumber
disebutkan bahwa di Indonesia pada mulanya terdapat 8000 jenis bibit lokal yang
kemudian beralih ke korporasi bibit transnasional dan semua sudah diboyong ke
Philipina. Saat sekarang tinggal kurang lebih 25 jenis yang masih ditanam
penduduk di pedalaman. (Baiquni, M dan Susilawardani, 2002). Menurut Shiva
(dalam Notohadiprawiro, T, 1995), revolusi hijau tidak didasarkan atas
kemandirian tetapi ketergantungan, tidak berdasarkan keanekaragaman tetapi
keseragaman. Kehilangan plasma nuftah yang sedemikian besarnya merupakan suatu
kerugian yang tidak ternilai harganya.
Revolusi hijau
padi, misalnya, terutama ditumpu oleh varietas yang berdaya hasil tinggi, air
irigasi, pupuk kimia, pengendalian hama dan penyakit secara kimia. Lingkungan
beririgasi yang bergandengan dengan pemupukan nitrogen berat dan penanaman secara
monokultur berlanjut dengan varietas padi yang sama atau yang secara genetik
sekeluarga telah menimbulkan epidemik hama dan penyakit. Irigasi yang intensif
mengubah sifat-sifat tanah yang menurunkan produktivitasnya. Pemupukan yang lebih
mementingkan N untuk cepat memacu produksi daripada unsur lain atau pupuk
organik menimbulkan ketimpangan dalam neraca hara tanah. Penggunaan pupuk,
khususnya N menjadi tidak efisien. Penggunaan pupuk kimia semakin mengeraskan
tanah dan membunuh bahan organisma tanah. Von Uexkull (dalam dalam
Notohadiprawiro, T, 1995) mengakui bahwa penggunaan pupuk secara keliru dapat
merusak lingkungan. Penggunaan nitrogen secara berlebihan dapat ikut
mencemarkan air tanah. Penggunaan nitrogen yang timpang mempercepat pengurasan
unsur hara lain dalam tanah dan menyebabkan pemasaman tanah. Penggunaan
nitrogen berlebihan dan penggunaan fosfat secara keliru dapat menimbulkan
eutrofikasi badan-badan air.
Pestisida kimia
banyak membunuh predator alami dan bahkan manusia sendiri. WHO (World Health Organization) melaporkan
bahwa setiap tahun sekitar 3 juta orang teracuni pestisida. Kira-kira 200 ribu
orang kemudian meninggal dunia. Bahan kimia sintetis tersebut juga diyakini
menjadi faktor utama yang mengakibatkan berkembangnya penyakit-penyakit yang
mengganggu metabolisme seperti ginjal, lever, paru-paru dan sebagainya
(Saragih, 2003). Kondisi tersebut diperparah oleh penggunaan pestisida secara
kurang hati-hati. Dalam penerapan di bidang pertanian, ternyata tidak semua
pestisida mengenai sasaran. Kurang lebih hanya 20 persen pestisida mengenai
sasaran sedangkan 80 persen lainnya jatuh ke tanah. Akumulasi residu pestisida tersebut mengakibatkan
pencemaran lahan pertanian. Apabila
masuk ke dalam rantai pangan, sifat beracun bahan pestisida dapat menimbulkan
berbagai penyakit seperti kanker, mutasi, bayi lahir cacat, CAIDS (Chemically Acquired Deficiency Syndrom)
dan sebagainya (Sa’id,1994, dalam Sofia, 2001). Penelitian Sutarni, dkk, 1996,
menemukan ada korelasi positif yang bermakna antara lamanya kontak dengan
pestisida dan beratnya polineuropati
pada petugas pemberantas hama. Polineuropati adalah suatu penyakit yang menyebabkan
terjadinya gangguan fungsi dan struktur saraf tepi.
Penelitian Mariyono,
2006, mendapatkan hasil bahwa peningkatan produksi padi selama periode
1970–1989 tidak disebabkan oleh peningkatan penggunaan pestisida kimia, tetapi
disebabkan oleh perluasan lahan, peningkatan penggunaan pupuk nitrogen dan
kemajuan teknologi. Perusahaan-perusahaan pembuat pestisida sering kali
berbicara tentang “Penggunaan Pestisida yang Aman” atau mengiklankan “Pestisida
Ramah Lingkungan” Kedua pernyataan ini sama-sama salah. Pestisida adalah racun
yang tidak akan pernah dapat dipergunakan dengan aman. Pestisida membunuh makhluk
hidup dan tetap mencemari tanah dan air, pestisida tidak akan pernah bisa ramah
pada lingkungan. Sering kali orang tidak menyadari bahwa mereka keracunan
pestisida karena gejala-gejalanya mirip dengan masalah kesehatan lainnya
misalnya pusing dan kudis. Juga, karena kebanyakan gejala-gejala ini tidak
muncul dengan cepat, seperti gangguan sistem syaraf atau kanker, orang tidak
menyadari bahwa penyakit mereka mungkin disebabkan oleh pestisida (Yayasan Duta
Awam, 1999)
Ternak dan
kompos organis mulai ditinggalkan petani. Lebih mengerikan lagi, liberalisasi
inovasi bibit unggul, pupuk kimia dan pestisida kimia, dan peralatan pertanian
telah direbut perusahaan trans–nasional (TNCs) dari pemerintah. Ketika TNCs
melakukannya, maka ideologi yang dipakai adalah akumulasi laba semaksimal
mungkin tanpa mempedulikan etika moral, kaidah lingkungan, dan tatanan sosial
ekonomi komunitas. Hal ini mengakibatkan petani mengalami ketergantungan yang hebat
terhadap produk TNCs. Petani diperas secara ekonomi untuk menjalankan usaha pertaniannya.
Kehadiran
perusahaan multinasional Monsanto di Indonesia dengan penyebaran benih hasil
rekayasa genetika terutama ditunjang oleh cara berpikir dan pola pendekatan
ekonomi. Argumen yang sering dikemukakan adalah bahwa benih hasil rekayasa genetika
meningkatkan produktivitas dan penghasilan petani berkali-kali lipat. Dipihak
lain dampak lingkungan dan kesehatan yang dihasilkan oleh benih tersebut
diabaikan. Kenyataan yang ada petani menjadi lebih tergantung pada perusahaan
multinasional tersebut yang pada akhirnya hanya menguntungkan perusahaan
multinasional (Keraf, 2002). Selanjutnya secara lebih khusus, Oetomo (dalam
Winangun, 2005) mengibaratkan lingkungan sebagai pohon (induk atau inangnya),
sedangkan sistem ekonomi kapitalis adalah parasit ganas. Termasuk parasit ganas
adalah budidaya pertanian yang tidak bertanggung jawab, seperti revolusi hijau
yang sarat agrokimia. Akhirnya, terciptalah usaha tani input (masukan) yang tinggi
sekaligus energi tinggi. Cemaran akan makin meresap ke dalam tanah, ke dalam tanaman
dan ke dalam hasil bumi yang akan dimakan manusia. Revolusi hijau dengan padi
ajaibnya menghasilkan yang lebih ajaib lagi yaitu hilangnya padi asli (lokal)
kaum tani. Bumi dan kaum tani sendiri dibunuhnya, sehingga tidak ada lagi kaum
muda desa yang mau menjadi petani.
Dari uraian dan
beberapa hasil penelitian di atas, penggunaan bibit unggul, pupuk dan bahan kimia
pertanian, sebagai unsur utama dari revolusi hijau ternyata tidak hanya
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan tetapi juga menimbulkan dampak negatif
pada kesehatan para pelaku dan konsumen produk pertanian. Selain dampak negatif
terhadap lingkungan dan kesehatan, revolusi hijau juga semakin meminggirkan
para petani. Menurut Prince, 2004, selama bertahun-tahun, secara
perlahan-lahan, kearifan berbudidaya telah direbut dari tangan petani. Secara
sistemik, proyek kolonialisasi besar-besaran, yakni Revolusi Hijau, program
intensifikasi dan modernisasi dalam corak produksi pertanian, memusnahkan
kemandirian petani Indonesia. Atas nama pertumbuhan produksi, ketahanan pangan
dan swasembada beras, petani dipaksakan untuk memakai benih hibrida, dan pupuk
kimia, pestisida dan herbisida buatan pabrik. Pengetahuan lokal atas cara-cara
memproduksi pupuk sendiri dari bahan asli setempatnya; mengendalikan hama secara
alami, yakni dengan memelihara keseimbangan antara musuh dan hama; bahkan
memuliakan benih sendiri, tersingkirkan. Secara sengaja, kearifan ini
dihancurkan oleh teknologi revolusi hijau. Sudah lama petani hanya menjadi
‘buruh tani’ di lahannya sendiri.
Revolusi hijau
menurut Saragih, 2003, mengakibatkan rusaknya kebudayaan manusia yang
mengagungkan nilai-nilai kehidupan yang harmoni. Hubungan manusia dengan alam
maupun dengan sesama manusia lebih berkembang ke arah eksploitatif yang
kemudian keguncangan-keguncangan yang mengancam keberlanjutan kehidupan itu
sendiri. Menurut Keraf, 2002, hal ini terjadi, karena dalam berhubungan dengan
alam selalu mengedepankan agenda ekonomi, dengan tidak memperhatikan (mempedulikan)
dampak terhadap lingkungan hidup dan masyarakat miskin.
Dampak negatif
revolusi hijau secara tegas diungkapkan dalam Penjelasan atas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Pengesahan International
Treaty On Plant Genetic Resources For Food And Agriculture (Perjanjian
Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman Untuk Pangan dan Pertanian). Penjelasan
atas Undang-Undang tersebut menyebutkan ”Intensifikasi pertanian dengan pengembangan
irigasi dan penggunaan sarana dan prasarana produksi pertanian serta
ekstensifikasi lahan pertanian secara besar-besaran yang dikenal dengan Revolusi
Hijau telah mampu meningkatkan produktivitas secara nyata, namun demikian,
kecerobohan di tingkat operasional Revolusi Hijau ini menimbulkan berbagai
dampak negatif, baik pakta lingkungan, keanekaragaman hayati pertanian maupun
sosial ekonomi masyarakat.”
Seiring dengan
semakin tumbuhnya kesadaran masyarakat akan kelestarian lingkungan dan
memperoleh produk pangan yang sehat serta semakin gencarnya berbagai upaya
penyadaran akan hak-hak petani, revolusi hijau yang dinilai sudah banyak berjasa
menyediakan pangan khususnya untuk negara-negara berkembang di pandang sebagai
sistem pertanian yang tidak berkelanjutan. Selanjutnya pertanian organik atau
pertanian lestari dinilai lebih berwawasan lingkungan, menghasilkan produk
pangan yang lebih aman, sehat, dan memberikan rasa yang lebih nikmat serta
memandirikan para petani.
Pertanian
Organik
Pengertian
Pertanian Organik
Istilah produk
organik bukan sesuatu yang asing bagi masyarakat, mulai dari makanan organik,
sayur organik, beras organik, buah organik bahkan sampai ayam atau sapi
organik. Di pasar dan supermarket kita bisa mendapatkan hasil–hasil pertanian
dengan label organik. Hal ini dapat menggambarkan bahwa hasil-hasil pertanian
organik sudah memiliki pangsa pasar tersendiri. Meskipun dalam banyak hal untuk
memperoleh produk organik orang harus membayar lebih mahal tidak menjadikan
hambatan bagi segmentasi konsumen tertentu untuk mengkonsumsi produk organik.
Pertanian
organik dibanyak tempat dikenal dengan istilah yang berbeda-beda. Ada yang
menyebut sebagai pertanian lestari, pertanian ramah lingkungan, sistem
pertanian berkelanjutan dan pertanian organik itu sendiri. Penggunaan istilah usaha
tani organik atau “Organik Farming “ pertama kali oleh Northbourne pada tahun
1940 dalam bukunya yang berjudul “Look to the Land ”. Northbourne menggunakan
istilah tersebut tidak hanya berhubungan dengan penggunaan bahan organik untuk
kesuburan lahan, tetapi juga kepada konsep merancang dan mengelola sistem
pertanian sebagai suatu sistem yang utuh atau organik, mengintegrasikan lahan,
tanaman, panenan, binatang dan masyarakat. (Scofield, 1986, dalam Lotter, DW, 2003).
Sutanto, 2002,
mendefinisikan pertanian organik sebagai suatu sistem produksi pertanian yang
berasaskan daur ulang secara hayati. Daur ulang hara dapat melalui sarana
limbah tanaman dan ternak, serta limbah lainnya yang mampu memperbaiki status
kesuburan dan struktur tanah. Secara lebih luas, Sutanto, 2002, menguraikan
bahwa menurut para pakar pertanian Barat sistem pertanian organik merupakan
”hukum pengembalian (law of return)” yang berarti suatu sistem yang
berusaha untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah, baik
dalam bentuk residu dan limbah pertanaman maupun ternak yang selanjutnya
bertujuan memberikan makanan pada tanaman. Filosofi yang melandasi pertanian
organik adalah mengembangkan prinsip-prinsip memberikan makanan pada tanah yang
selanjutnya tanah menyediakan makanan untuk tanaman (feeding the soil that
feeds the plants) dan bukan memberi makanan langsung pada tanaman.
Pertanian
organik menurut IFOAM (International
Federation of Organik Agriculture Movements) didefinisikan sebagai sistem
produksi pertanian yang holistik dan terpadu, dengan cara mengoptimalkan
kesehatan dan produktivitas agro-ekosistem secara alami, sehingga menghasilkan
pangan dan serat yang cukup, bermutu dan berkelanjutan. Pertanian organik
adalah sistem pertanian yang holistik yang mendukung dan mempercepat
biodiversity, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah.
Prinsip Pertanian Organik
Pengantar
IFOAM (International Federation of Organik
Agriculture Movements), 2014, menetapkan prinsip-prinsip dasar bagi
pertumbuhan dan perkembangan pertanian organik. Prinsip-prinsip ini berisi
tentang sumbangan yang dapat diberikan pertanian organik bagi dunia, dan
merupakan sebuah visi untuk meningkatkan keseluruhan aspek pertanian secara
global.
Prinsip-prinsip ini adalah akar dari mana pertanian
organik tumbuh dan berkembang. Mereka mengungkapkan kontribusi bahwa pertanian
organik dapat membuat dunia, dan visi untuk meningkatkan keseluruhan aspek
pertanian dalam konteks global.
Pertanian merupakan salah satu kegiatan yang paling
mendasar bagi manusia, karena semua orang perlu makan setiap hari. Nilai sejarah, budaya dan masyarakat yang
tertanam di bidang pertanian. Prinsip yang berlaku untuk pertanian dalam arti
luas, termasuk bagaimana manusia memelihara tanah, air, tanaman dan hewan untuk
menghasilkan, mempersiapkan dan menyalurkan pangan serta produk lainnya. Mereka
menyangkut cara orang berinteraksi dengan lingkungan hidup, berhubungan satu
sama lain dan membentuk warisan generasi mendatang.
Prinsip-prinsip
Pertanian Organik berfungsi untuk menginspirasi gerakan organik dengan segala
keberagamannya. Mereka memandu perkembangan IFOAM dari posisi, program
dan standar. Selain itu, prinsip disajikan dengan visi untuk diadopsi di
seluruh dunia.
Prinsip-prinsip
tersebut mengilhami gerakan organik dengan segala keberagamannya.
Prinsip–prinsip tersebut adalah:
- Prinsip kesehatan
- Prinsip ekologi
- Prinsip keadilan
- Prinsip perawatan
Setiap prinsip diartikulasikan melalui pernyataan diikuti
dengan penjelasan. Prinsip-prinsip ini harus dipergunakan secara keseluruhan. Mereka terdiri dari prinsip
sebagai etika untuk mengilhami tindakan.
Prinsip kesehatan
Pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan
kesehatan tanah, tanaman, hewan, manusia dan bumi sebagai satu dan tak
terpisahkan.
Prinsip ini menunjukkan bahwa kesehatan individu dan
masyarakat tidak dapat dipisahkan dari kesehatan ekosistem - tanah yang sehat
akan menghasilkan tanaman yang sehat yang dapat mendukung kesehatan hewan dan
manusia.
Kesehatan
adalah keutuhan dan integritas sistem kehidupan. Hal ini tidak saja sekedar
bebas dari penyakit, tetapi pemeliharaan fisik, mental, sosial dan ekologi,
kesejahteraan. Imunitas, ketahanan dan regenerasi adalah karakteristik kunci
dari kesehatan.
Peran pertanian
organik baik dalam produksi, pengolahan, distribusi, atau konsumsi, adalah
untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatan ekosistem dan organisme, dari
yang terkecil dalam tanah hingga manusia. Secara khusus, pertanian
organik dimaksudkan untuk menghasilkan makanan yang tinggi bergizi yang
mendukung pemeliharaan kesehatan preventif dan kesejahteraan. Dalam pandangan
ini harus menghindari penggunaan pupuk, pestisida, obat hewan dan bahan aditif
pangan yang mungkin memiliki efek yang dapat merugikan kesehatan.
Prinsip ekologi
Pertanian organik harus didasarkan pada kehidupan sistem
ekologi dan siklus, bekerja dengan mereka, meniru mereka dan membantu
mempertahankan mereka.
Ini akar
prinsip pertanian organik dalam kehidupan sistem ekologi. Ini menyatakan bahwa
produksi didasarkan pada proses dan daur ulang ekologis. Makanan dan
kesejahteraan yang dicapai melalui ekologi lingkungan produksi tertentu.
Sebagai contoh, dalam kasus tanaman adalah tanah yang hidup; hewan itu adalah
ekosistem pertanian; untuk ikan dan organisme kelautan, lingkungan air.
Pertanian
organik, peternakan dan pemanenan produk liar harus sesuai dengan siklus dan
keseimbangan ekologi di alam. Siklus ini bersifat universal tetapi
pengoperasiannya bersifat spesifik lokasi. Pengelolaan organik harus
disesuaikan dengan kondisi setempat, ekologi, budaya dan skala. Input harus
dikurangi dengan penggunaan kembali, daur ulang dan pengelolaan yang efisien
bahan dan energi dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan mutu lingkungan dan
melestarikan sumber daya.
Pertanian organik harus mencapai keseimbangan ekologi
melalui desain sistem pertanian, pembentukan habitat dan pemeliharaan
keanekaragaman genetik dan pertanian. Mereka yang menghasilkan, proses,
perdagangan, atau mengkonsumsi produk-produk organik harus melindungi dan
memberikan keuntungan bagi lingkungan secara umum termasuk lanskap, iklim,
habitat, keragaman hayati, udara dan air.
Prinsip keadilan
Pertanian organik harus membangun hubungan yang menjamin
keadilan terkait dengan lingkungan umum dan peluang kehidupan.
Keadilan ditandai dengan ekuitas, rasa hormat, keadilan
dan kepedulian dunia bersama, baik antara orang-orang dan hubungan dengan
makhluk hidup lainnya.
Prinsip ini menekankan bahwa mereka yang terlibat dalam
pertanian organik harus membangun hubungan manusia dengan cara yang menjamin
keadilan di semua tingkatan dan semua pihak-petani, pekerja, pemroses,
penyalur, pedagang dan konsumen. Pertanian
organik harus memberikan semua orang yang terlibat dengan mutu kehidupan yang
baik, dan berkontribusi terhadap kedaulatan pangan dan pengurangan kemiskinan.
Hal ini bertujuan untuk menghasilkan kecukupan pasokan pangan yang bermutu baik
dan produk lainnya.
Prinsip ini
menegaskan bahwa hewan harus disediakan dengan kondisi dan peluang hidup yang
sesuai dengan fisiologi, perilaku alami dan kesejahteraan mereka.
Sumber daya
alam dan lingkungan yang dipergunakan untuk produksi dan konsumsi harus
dikelola dengan cara yang secara sosial dan ekologis, serta harus diadakan
dipercaya untuk generasi mendatang. Keadilan memerlukan sistem produksi,
distribusi dan perdagangan yang terbuka serta adil dan memperhitungkan biaya
lingkungan dan sosial yang nyata.
Prinsip perawatan
Pertanian organik harus dikelola secara hati-hati dan bertanggung
jawab untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi sekarang dan
mendatang serta lingkungan hidup.
Pertanian organik adalah kehidupan dan sistem yang dinamis
untuk merespon tuntutan dan kondisi internal dan eksternal. Praktisi pertanian
organik dapat meningkatkan efisiensi dan meningkatkan produktivitas, namun hal
tersebut tidak berada pada risiko yang membahayakan kesehatan dan
kesejahteraan. Akibatnya, teknologi baru perlu dikaji dan metode yang ada
ditinjau. Mengingat kurangnya pemahaman ekosistem dan pertanian, perawatan
harus dilakukan.
Prinsip ini menyatakan bahwa pencegahan dan tanggung jawab
merupakan hal yang mendasar dalam pengelolaan, pengembangan dan teknologi
pilihan dalam pertanian organik. Ilmu ini diperlukan untuk menjamin bahwa
pertanian organik yang sehat, aman dan ramah lingkungan. Namun, pengetahuan ilmiah saja tidak cukup.
Pengalaman praktis, akumulasi kearifan dan pengetahuan tradisional serta adat
menawarkan solusi yang valid, diuji oleh waktu. Pertanian organik harus mencegah
risiko yang signifikan dengan mengadopsi teknologi tepat guna dan menolak yang
tak terduga, seperti rekayasa genetika. Keputusan harus mencerminkan
nilai-nilai dan kebutuhan semua yang mungkin terpengaruh, melalui proses yang
transparan dan partisipatif.
Pentingnya
Pengembangan Pertanian Organik
Dari uraian
diatas diketahui bahwa revolusi hijau sudah membuktikan mampu menyediakan kebutuhan
pangan bagi dunia. Kita tidak dapat memungkiri jasa yang besar tersebut tetapi
juga tidak boleh terus–menerus mengandalkan revolusi hijau untuk penyediaan
pangan dunia. Revolusi hijau ternyata membawa dampak negatif bagi lingkungan.
Pupuk dan obat-obatan kimia yang digunakan telah mematikan tanah dan merusak
ekologi. Ada begitu banyak kehidupan di dalam tanah yang mati, yang berguna
untuk menyuburkan tanah. Predator hama ikut mati sehingga ketergantungan
terhadap pestisida semakin besar. Bahkan obat-obatan tersebut juga berbahaya
bagi para pelaku pertanian. Satu
hal yang harus dicacat, pertanian semaju apapun sangat tergantung kepada
perilaku alam sekitar. Dengan
teknologi yang tepat ketergantungan ini dapat dikurangi tetapi tidak dapat dihilangkan.
Fakta ini yang menurut Notohadiningrat, 1993, yang membedakan antara pertanian
dengan industri lain. Karena tergantung pada lingkungan alam, suatu kemunduran
atau kerusakan lingkungan alam karena penggunaan salah akan langsung berbalik
berdampak merugikan bagi pertanian.
Produk
pertanian yang dihasilkan membawa akibat buruk bagi kesehatan konsumennya. Revolusi hijau semakin menghilangkan
kemandirian petani. Dalam memenuhi kebutuhan pertanian, petani harus
mengeluarkan begitu banyak sumber kapital (dana). Usaha pertanian yang
dikerjakan belum secara signifikan mensejahterakan petani sehingga minat
generasi muda untuk menekuni bidang pertanian terus turun dari waktu ke waktu. Revolusi hijau tidak ramah lingkungan dan
sosial karena dikembangkan dalam sistem kapitalisme.
Pertanian
organik dinilai sebagai sistem pertanian yang mampu menyediakan ketersediaan
pangan secara berkelanjutan karena ramah lingkungan. Pertanian organik tidak
identik dengan pertanian tradisional. Dalam menjalankan pertanian organik, petani
dituntut untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Para petani sudah
kehilangan beberapa kearifan lokal sebagai ilmu pengetahuan yang penting karena
sudah sekian lama dikondisikan melakukan pertanian konvensional. Pengetahuan
lokal tentang mengelola dan memproduksi pupuk tidak lagi dikuasai para petani. Sumber
daya lokal berupa material yang tersedia melimpah sebagai bahan pupuk organik
tidak lagi dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Para petani tidak lagi
membenihkan sendiri bibit padi yang akan mereka tanam. Memelihara keseimbangan
antara musuh alami dan hama tidak lagi merupakan sesuatu yang penting untuk
dilakukan.
Masyarakat
petani Jawa mengenal ceritera mengenai Dewi Sri, yang dikenal sebagai Dewi
Kesuburan yang dalam ceritera pewayangan dikenal dengan lakon Sri Mulih atau
Sri Boyong. Dalam keseharian Dewi Sri berwujud sebagai ular sawah, yang
dihormati dan dicintai para petani. Ular sawah itu menolong petani dalam
menyuburkan dan menjaga sawahnya dari hama tikus yang sangat merugikan.
Pertanian Organik sesuai dengan jiwa petani yang pada dasarnya mempunyai
kecintaan dan perhatian yang tinggi terhadap lingkungan. Harta yang paling
berharga bagi seorang petani adalah tanah yang subur dan sehat di mana terdapat
populasi mikroba yang sesuai untuk terjadinya siklus nutrien.
Dengan demikian
sudah saatnya dikembangkan strategi pertanian yang baru. Strategi pertanian
yang mampu memberikan perlindungan kepada lingkungan dan kehidupan masa depan
manusia. Strategi baru tersebut bukan sekedar dalam aspek teknik dan metode
bertani, melainkan juga cara pandang, sistem nilai, sikap dan keyakinan hidup.
Strategi pertanian yang mendasarkan pada prinsip-prinsip hukum alam. Alam
dipandang secara menyeluruh, dimana komponennya saling tergantung dan
menghidupi, dimana manusia juga adalah bagian di dalamnya.
Pertanian
organik dinilai sebagai strategi pertanian yang mampu menjawab tantangan di
atas. Strategi pertanian yang mampu menyediakan ketersediaan pangan secara
berkelanjutan karena ramah lingkungan dan berkeadilan sosial. Untuk itu
kesadaran masyarakat secara umum akan pentingnya mengkonsumsi produk–produk
organik perlu ditingkatkan melalui berbagai cara. Demikian pula halnya dengan
para pelaku dunia usaha pertanian untuk dapat melakukan kegiatan pertanian yang
ramah lingkungan dan berkelanjutan. Selanjutnya produk pertanian organik pantas
dihargai lebih tinggi bukan karena para petani sudah menghasilkan bahan pangan
melainkan lebih sebagai penghargaan dan ucapan terima kasih kepada para petani
yang telah menjaga kelestarian lingkungan.
Sumber:
- Northbourne pada tahun 1940 dalam bukunya yang berjudul “Look to the Land ”
- Notohadiningrat, Tejoyuwono, 1995, Revolusi Hijau dan Konservasi Tanah, Materi Kursus Konservasi Sumber Daya Alam Propinsi DIY, Repro : Ilmu Tanah Universitas Gadjahmada 2006.
- Sutarni, Sri, dkk, 1996, Pemaparan Pestisida dan Polineuropati Pada Petani Di Kalurahan Tlogohadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Jurnal Manusia dan Lingkungan, Nomor 10, Th. IV, hal 21-30, Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
- Yayasan Duta Awam, 1999, Yang Diuntungkan dari Bisnis Racun : Pestisida, www.panap.net
- Sofia, Diana, 2001, Pengaruh Pestisida Dalam Lingkungan Pertanian, http://library.usu.ac.id/download/fp/fp-diana
- Keraf, A.S, 2002, Etika Lingkungan, Penerbit Kompas, Jakarta
- Baiquni, M dan Susilawardani, 2002, Pembangunan yang Tidak Berkelanjutan, Transmedia Global Wacana, Yogyakarta
- Saragih, Sebastian, 2003, Kemerdekaan Petani dan Keberlanjutan Kehidupan, STPN HPS Yogyakarta,
- Lotter, DW, 2003, Organic Agriculture, Jurnal Sustain Agriculture, Volume 21 No. 4, 2003,
- Prince, Jess, 2004, Skripsi, Kearifan hidup, kedaulatan petani, dan pertanian organik: menanamkan benih-benih transformasi social, www.acicis.murdoch.edu.au/hi/field_topics/jessprince.doc
- Oetomo, G, Kekuatan dan Kelemahan Dunia Pertanian dalam Konteks Tata Ekonomi Global, Kerusakan Lingkungan Hidup, dan Tata Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Lestari, Penyunting Winangun, Wartoyo, 2005, Membangun Karakter Petani Organik Sukses dalam Era Globalisasi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Treaty On Plant Genetic Resources For Food And Agriculture (Perjanjian Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman Untuk Pangan dan Pertanian).
- Mariyono, Joko, 2006, Agro-Chemical Inputs Use In Indonesia During 1970–1989: Is Its Contribution On Rice Production Significant ? (Penggunaan Input Kimia Pertanian di Indonesia Periode 1970–1989: Singnifikankah Sumbangannya Pada Produksi Beras ?)
- The IFOAM NORMS for Organic Production and Processing Version 2014